Saya hidup
dalam kemanjaan yang diberikan oleh ibu. Entah itu membuat saya jadi beruntung
atau justru membuat saya jadi tumpul.
Beruntung
karena tak semua anak akan mendapatkan semua yang diinginkan tanpa perlu
bersusah payah. Tumpul karena saya menjadi kurang peka melihat keadaan di
sekelilingnya.
Bayangkan
ketika semua yang kamu butuhkan telah ibu sediakan tanpa perlu meminta.
Bayangkan
ketika kamu meminta saat itu juga ibu akan mengabulkan.
Itulah
model perlakuan ibu yang ibu ajarkan pada anak-anaknya.
Anak ibu
ada empat. Saya anak kedua yang saat ini melakoni tugas sebagai anak pertama - sebab
mba saya sudah menikah. Saya masih memiliki dua adik yang jaraknya enam tahun
dan lima belas tahun.
Apakah
terdapat perlakuan berbeda? Yang saya rasakan tidak ada.
Berlakon
sebagai anak sulung nyatanya saya tetap dimanjakan dengan dipenuhi segala
kebutuhan. Hampir-hampir saya tak ingin sambat apa pun terhadap apa pun sebab
ibu telah memberikan yang terbaik dalam segala hal.
Jangankan
kebutuhan mendasar soal makan. Misal saya cuma mau minum susu dengan merk
tertentu pun ibu selalu menyediakan. Kata beliau, “Kamu harus
minum susu mba biar gemuk, maunya susu yang apa nanti ibu beliin.”
Nyatanya
badan saya sulit untuk gemuk dengan berat yang tak pernah bertambah meski ditunjang
dengan berbagai makanan.
Jika
kebutuhan mendasar pun dipenuhi justru dilebihkan, kebutuhan tersier apa lagi
telah tersedia lengkap.
Hal yang sederhana,
saya tak pernah sambat minta ganti hape. Sebab, saya selalu menjaga sepenuh
hati semua barang yang diberi. Tak peduli benda milik saya sudah ketinggalan
zaman. Bagi saya bodo amat, yang penting masih dapat digunakan. Saya pernah
sampai menjelang semester dua perkuliahan (sekitar 2014) hape saya masih pakai
layar gejug.
Bagi ibu,
rasanya terlalu kasihan anaknya masih memakai hape layar gejug disaat android
sudah merajalela. Terakhir, ibu mengganti hape saya dengan merk keluaran tahun
lalu.
Soal
kendaraan, jangan ditanya. Sudah sejak SMK ibu menyediakan.
Hampir tak
ada usaha bagi saya untuk memenuhi kebutuhan saya sendiri. Bagi ibu, selama
anak ibu masih tinggal bersama ibu,
selama itu pula tanggung jawab masih ada
pada ibu.
Ketika
teman-teman lain mulai berusaha sampai bersusah payah memenuhi kebutuhan
pribadinya, saya cukup selalu ada di rumah - dan ketika ibu menyaksikan - apa yang
saya butuhkan akan ibu sempurnakan.
Apakah saya
senang?
Balik lagi
ke pembahasan awal, saya merasa beruntung tapi juga sekaligus menjadi tumpul.
Daya juang
saya, tak sebesar teman-teman lain yang ketika saya melihat mereka dengan sepenuh
hati melakoni banyak hal untuk dapat bersaing dengan berbagai hal, saya justru
biasa-biasa saja.
Apa dengan
begitu saya tetap diam berada di zona nyaman yang haqiqi? Tidak juga. Beberapa
kali saya suka nyleneh mencoba berbagai hal, melakoni berbagai upaya yang
dilakukan sendiri, meski hal itu akan terasa mudah jika ibu ikut terlibat, saya
memilih tak melibatkan ibu.
Saya pernah
hampir tak kebagian lokasi KKN karena kesulitan mendaftar, ternyata dapat lokasi
yang agak jauh. Padahal hal itu bisa dipermudah jika ibu ikutan ngurus.
Pernah
terlibat dalam aksi menolak tingginya uang kuliah (padahal ibu bisa bayar), eh
ketika ibu tahu langsung dimarahi karena ikutan.
Paling hangat
dan paling diingat ketika dosbing outsider saya galaknya nangudzubillah padahal
beliau teman dekat ibu ketika kuliah dulu. Tapi saya tidak memilih
memperkenalkan diri sebagai anak ibu, saya lebih memilih dinilai secara
objektif meski dengan selingan sentimentil atau bentakan-bentakan ketika
sidang. Tak apa, saya puas karena itu nilai
untuk saya, bukan nilai karena saya
anak ibu.
Sejak saat
saya menyadari kenyamanan yang haqiqi ini, saya mulai berhati-hati dalam
sambat.
Bisa jadi
ketika saya bilang "Bu mau nikah,"
Seketika
itu deretan calon telah ibu sandingkan. Hm.
Kalimat terahir gawe ngakak 😂
BalasHapus