“Ngantuk itu alamiah, saya memakluminya -- kata dosen Jurnalistik
Media Elektronik”
Sore hari terik matahari mengintip
ke sela-sela jendela di ruang 4. Mata kuliah Jurnalistik Media Elektronik
menjadi mata kuliah terakhir sore itu. Materi pengambilan gambar menjadi materi
yang hanya sekadar menonton video. Ruangan gelap tiap kali video diputarkan. Hanya
suara dari video tahun 2000-an dengan visual yang bisa terbayangkan betapa
jadul dan membosankannya video yang diputar.
Tak perlu menunggu pemutaran
sampai selesai. Beberapa kali pemutaran, sudah cukup membuat mata ini sudah tak
bisa lagi menahan godaan untuk pergi ke alam bawah sadar. Ya, ngantuk. Dan...
tiba-tiba saja begitu lampu dinyalakan, saya tak lagi mendengar suara dosen yang
sedang menjelaskan. Perasaan saya masih tertinggal di ruang kelas, tapi pikiran
dan bayangan sudah pergi tak berjejak menyusuri mimpi-mimpi yang baru saja akan
terjelajahi.
Tiba-tiba... “Iya saya tahu,
ngantuk itu alamiah. Saya memakluminya, “ kata dosen Jurnalistik Media
Elektronik.
Entah seperti apa kalimat
lengkapnya, saya tak mendengar secara pasti. Seperti kata beliau, ‘maklum’ saya
sedang ngantuk atau lebih tepatnya hampir tertidur pulas. Posisi duduk ini
masih stabil, hanya berpangku tangan dengan wajah yang memandang ke depan. Ya,
disitulah letak kesalahanya. Wajah saya yang sudah memejamkan mata justru dihadapkan
lurus ke depan. Seperti tempat duduk saya yang sore itu deretan bangku sebelah
kiri memang paling depan.
Bisa dibayangkan, betapa malu dan
merasa bersalahnya saya sore itu. Kejadian ini belum berakhir. Ketika sudah
ketahuan ngantuk, saya langsung mengambil kertas dan langsung menuliskan segala
catatan yang ada di papan tulis.
Saat saya sedang menulis, “Misalnya
saja Triana sedang menulis. Yang diambil gambarnya berarti gerakan tangannya
yang sedang menulis, itu namanya pengambilan gambar secara close up,” kata
beliau dosen Jurnalistik Media Elektronik.
Yaa Alloh betapa malu dan malunya saya
sore itu. Sudah ngantuk dijadikan contoh pula, sudah malu ketambah makin malu
pula. Akhirnya, saya semakin gencar mencatat setiap penjelasan yang beliau
sampaikan. Gerakan tubuh sedikit akan menimbulkan perhatian, bahkan bisa
dijadikan percontohan. Karena itu, saya lebih memilih menundukan kepala,
menulis dan diam. Terpenting, mata ini tetap fokus ke depan dengan tatapan yang
nyata bukan tutupan mata yang terpampang.
Maafkan saya pak. Rasa ngantuk ini
terlalu alamiah untuk bisa dijelaskan. Bukan saya tak mau memperhatikan, akan
tetapi sesuatu yang alamiah lagi-lagi sulit untuk ditahan. Meski saya sudah
berjuang untuk tetap memperhatikan dengan mata fokus ke depan, yang terjadi itu
justru menjadi bumerang bagi saya dengan usaha yang mental dan berujung pada ngantuk
yang teramat dalam. Alhasil, beberapa menit mata saya terpejam.
Pelajaran berharga di senja yang
mulai datang. Semoga kawan-kawan tak mengalami hal yang serupa, sungguh
memalukan. Semoga kejadian ini tak berulang.........
Komentar
Posting Komentar