Kala itu
nyawang surya, kali ini nyawang kowe rabi
karo wong liyo
Melihat foto di atas jadi teringat,
masa di mana belum KKN dan skripsi masih di perantauan. Kala itu, saya sedang
ngedit tulisan sendirian di sekre, tapi oleh seorang teman sebut saja Kim Jong
Un mengajak saya ke pantai. Sebab saya merasa sendiri, jadi lari dari tugas
editor untuk satu hari saya pikir tak masalah. Toh tak ada siapa-siapa yang
menuntut. Pikir saya kala itu.
Akhirnya 14.30 kami berangkat,
tanpa tahu arah, hanya berdua. Jangan baper, sebab dia cuma Jong Un. Bukan soal
pergi berduanya yang akan saya bahas, tapi soal laku saya selama ini. Sejak
lahir hingga 23 tahun mengenal bumi dan seisinya, tetangga dan sekitarnya, saya
belum pernah berpacaran. Ya, menyandang status pacar belum sempat tersematkan
dalam diri saya. Teman-teman saya banyak yang bertanya,
“Ciye mau taarufan apa?”
“Ciye jomblo sampai halal,”
“Ciye ngga laku....” ini batal di
ciye in.
Dan guyonan atau bullyan lainnya
yang menyoal saya jomblo sejak lahir.
Tersinggung? Tidak.
Bahagia? Biasa aja.
Jika ditanya mau taarufan
sebenarnya saya tak pernah berpikir demikian. Pikir saya hanya tak mau pacaran.
Sudah cuma itu. Sekali lagi ya tak mau pacaran. Iya, tak mau.
Lantas kalau ditanya suka cowo?
Oh tentu, saya masih punya nafsu
yang normal.
Lalu mengapa berlaku demikian?
Kalau ditilik sejak sekolah saya
tak pernah ada niatan untuk pacaran. Suka cowo iya, misal karena si cowo
ganteng, pinter, ramah, dan sejenisnya. Tapi meniatkan diri ini untuk pacaran
tak pernah terlintas di keinginan saya. Kalau ditanya menyoal keyakinan saya
yang kuat, atau turunan dari keluarga yang taat? Sebenarnya biasa-biasa saja.
Biasa banget malah. Bukan dari keluarga
agamis banget, intinya saya bertingkah biasa saja itu sudah cukup jadi anak
baik di keluarga. Biasa saja kan?
Pernah Dekat
Menyoal saya yang masih jadi
perempuan tulen, masih punya nafsu pada laki-laki. Tapi kali ini tak hanya
sekadar mengagumi seperti masa sekolah dulu. Saya mulai memakai rasa, saya bisa
berlaku hingga benar-benar jatuh dan cinta. Tapi tetap dalam koridor hanya
berstatus teman.
Laku menyoal perasaan yang agak
serius saya rasakan dimulai saat di perkuliahan. Teman yang akrab karena
peliknya membahas persoalan orang-orang, seperti pendidikan, keuangan, dan
perkuliahan. Dari situlah kita dekat. Hanya berbagi cerita, masalah, serta
pemberitaan dan penulisan. Tak banyak drama. Sampai akhirnya ditinggal pun tak
lama. Ya, yang pertama sudah bahagia dengan pilihannya.
Masih di perkuliahan. Kala itu saya
putuskan bekerja di tengah-tengah skripsian. Saking jenuh ngga kelar-kelar.
Rupanya tiga bulan di salah satu koran lokal, ada satu narasumber yang
berlanjut berteman. Laku kami akrab. Saling menemani atau lebih banyak dia yang
menemani saya untuk liputan. Hujan-hujan, malam-malam, jauh-jauh dia lakukan. Saya
beruntung mengenalnya. Tapi, lagi-lagi tak banyak drama. Dengan berakhirnya
saya bekerja di koran lokal, berakhir pula sikap baiknya yang dulu pernah ia
tunjukan. Tiba-tiba menjauh, menjadi biasa-biasa saja. Mau ngejar, seperti kata
Padi ‘Kasih Tak Sampai.’ Yasudah.
Ketika tulisan awal saya dibuka
dengan bepergiannya saya berdua dengan seorang laki-laki yang hanya teman, ini
seakan kontradiksi dengan saya yang tak mau berpacaran. Kalau tak mau pacaran
harusnya bisa menjaga laku. Ya contohnya tak gampang diajak pergi berdua dengan
laki. Meski ya hanya teman, cuma teman, yakin teman.
Sekarang, saya banyak bercermin.
Belajar sejarah mengingat-ingat laku yang lalu. Bisa saya seperti ini, karena
yang lalu seperti itu. Agar tak seperti itu, saya harus introspeksi tak seperti
ini. Begitu kira-kira. Jangan dibikin
rumit, cukup bab 4 skripsi saja yang mumeti.
Akhir kata, berlaku lah tak perlu
berliku.
Komentar
Posting Komentar