Apa yang kamu lakukan jika ibu
kamu ternyata aktif di media sosial dan punya semua akun medsos.
Kepikiran hidden tiap stories
dari kontak ibu?
Kepikiran sembunyikan foto-foto yang
diposting di instagram?
Kepikiran kecualikan kontak ibu
untuk status facebook, whatsapp, dan instagram?
Atau, membiarkan ibu menjadi
teman dan mengawasi setiap postingan anaknya? (pasti yang ini jarang
dilakukan).
Sebagai remaja yang masih berada
pada fase alay barangkali postingan anak-anaknya tidak cocok dilihat oleh ibu.
Kalau pun bukan remaja yang alay, mungkin saja status anaknya cenderung bikin
ibu cenut-cenut karena tak paham dengan yang anaknya tulis.
“Kok tulisannya pakai
simbol-simbol?” (padahal emoticon)
atau
“Kamu jangan ikut-ikutan aliran
radikal.” (padahal saya yang doktrin mereka haha)
Ketimbang ibu banyak tanya,
mending sembunyikan saja. Barangkali seperti ini yang dilakukan banyak remaja.
Mengikuti perkembangan zaman,
tentu orang tua yang gemar bermain medsos gemar pula memperhatikan postingan
anaknya. Dari sinilah anak merasa privasinya terusik. Anak ingin berekspresi
tapi ibu sering berkomentar tentang postingan yang baru saja dibagikan.
Saya pernah ditegur ibu ketika
update status di FB.
“Kamu jangan posting yang kaya
gitu, hapus itu postingannya. Nanti dikira tukang demo..”
“Ya bu..”
Saya selalu mengiyakan perintah
ibu, meski tak selalu mematuhinya. Artinya semua postingan yang telah dibagikan
akan tetap berada di beranda timeline saya. Tentunya jika menurut saya hal itu
masih dalam batas wajar, saya tak akan beradu argumen dengan ibu.
Biasanya ibu lebih sering
komentar tentang status tulisan ketimbang foto. Ya, maklum saja saya juga
jarang posting foto. Tapi, sejak ibu punya medsos dan sering berkomentar
tentang postingan di timeline saya, tak pernah sekalipun saya kecualikan kontak
ibu. Biarlah ibu membacanya.
Saya lebih senang ibu melihat
postingan saya. Dengan begitu, tak ada beda diantara kita. Maksudnya, apa yang
saya tampilkan di kehidupan nyata, bisa ibu lihat pula di dunia maya.
Biarlah saya posting hal menyedihkan, bahagia, hingga kode-kode ke calon gebetan, ibu tetap membacanya. Paling-paling ibu akan bertanya. Saya tinggal jawab. Akan ada sesi obrolan ketika makan, atau ketika sedang menonton tv untuk menjelaskannya.
Biarlah saya posting hal menyedihkan, bahagia, hingga kode-kode ke calon gebetan, ibu tetap membacanya. Paling-paling ibu akan bertanya. Saya tinggal jawab. Akan ada sesi obrolan ketika makan, atau ketika sedang menonton tv untuk menjelaskannya.
Sayangnya, tak semua remaja
menampilkan apa yang ada di dunia maya untuk ibu mereka. Ibu mungkin tak tahu
anaknya sudah pacaran sejak SMP atau bahkan SD (meski pacarannya lewat FB). Ibu
mungkin tak tahu anaknya menyimpan foto-foto pacar di ig, album fb, atau galeri
ponselnya (karena ponsel pake kode rahasia dan ibu dilarang membuka ponsel
anaknya). Bahkan nomernya Ibu mungkin dikecualikan jika anak sedang galau atau yang-yangan di stories ig wa fb dll nya.
Dari sini, orang tua yang
memiliki anak sedang dalam masa remaja, dituntut untuk melek teknologi dan
harus lebih peduli dengan keadaan anaknya. Dari sini pula, anak seharusnya tak
perlu menutupi. Harusnya sebagai anak itu berpikir ulang, kamu saja posting dibagikan
untuk banyak orang masa ibu sendiri komentar dianggap mengganggu psrivasi.
Berbalas di kolom komentar memang
jarang, tapi ibu lebih senang komentar langsung tentang postingan anak-anaknya.
Pun saya sering pula berbicara langsung pada ibu yang rajin sekali update foto
di semua akun medsosnya. Rasanya ingin sekali hidden kontak ibu, bukan karena
takut dikomentari tapi bikin penuh timeline dan stories HAHA.
Mantap betul hehe
BalasHapusHuhu kalo aku pengen tak hidden semua malah :(
BalasHapus