Saya pernah menyukai seorang yang biasa dipanggil ustad, tapi lebih cocok dipanggil mas ustad karena usianya yang masih sangat muda. Karena bapanya pendakwah jadilah dipanggil 'anaknya ustad'. Makanya dia sekarang ikut-ikutan mendapat panggilan ustad. Begitulah kira-kira.
Tapi bukan soal jenis panggilan yang dibahas.
Waktu itu bulan puasa. Minggu pertama di bulan puasa, dia mengisi tausiyah kuliah subuh di musola tempat saya beribadah.
Saya masih ingat betul tausiyah yang disampaikannya yakni tentang bersyukur selepas sholat.
"Sebelum kita mengucap istighfar lebih baik kata pertama yang kita ucapkan adalah alhamdulillah..."
Begitu kira-kira yang disampaikannya.
Dia melanjutkan, "Sebelum kita memohon ampun atas dosa-dosa kita, alangkah baiknya mengucap syukur karena masih diberi nafas untuk beribadah, untuk berdoa, untuk memohon ampun, dan meminta segala sesuatu."
Sepertinya begitu intinya.
Sambil melongok ke shaf laki-laki tempatnya tausiyah, saya senyum-senyum sendiri.
Malu, senyum, tapi penasaran bagaimana mimik mukanya ketika menyampaikan tausiyah. Apakah gerogi, apakah datar, ataukah adem?
Sembunyi-sembunyi saya memerhatikan. Takut dikira terlalu jelas memandangi ustad muda itu oleh jamaah ibu-ibu yang kebanyakan sudah sepuh.
Pandangan saya terhalang tembok musola. Meski sudah berusaha memiringkan badan untuk melongok, tapi sulit sekali melihatnya secara utuh. Yasudah, dari luar bersama deretan shaf perempuan saya mendengarkan dengan khusyuk.
Hari puasa berikutnya. Lepas sahur saya kembali berangkat ke musola untuk subuhan. Keluar dari gerbang rumah sambil senyum-senyum sendiri berharap nanti akan mendengar ustad muda itu tausiyah lagi.
Lanjut menggelar sajadah di shaf perempuan paling depan. Maklum jamaah subuh memang sepi makmum. Sambil tengak tengok masih tak terlihat tanda-tanda ustad muda itu akan datang. Ah mungkin pengisi tausiyah masih di jalan, atau saya yang tak sadar berangkat kegasikan.
Selesai solat subuh, hening, jamaah laki-laki tengak tengok, diam. Lah berdiri salam salaman. What??? Langsung pulang. Baru kali ini tak ada pengisi tausiyah sedihnya bukan main. Ya bukan main sedihnya karena ustad muda itu tidak datang lagi ke musola ini. Huffft.
Pulang subuhan langit masih menghitam. Bintang dengan jelas masih bertebaran. Bulan memang belum tampak. Huh, menghela napas sambil mendaki tanjakan pulang ke rumah.
Hari demi hari berikutnya di bulan ramadhan. Masih dengan semangat menggelora untuk berangkat subuhan.
Hingga mendekati akhir bulan ramadhan. Tak terasa sudah 27 hari sudah. Sepanjang itu semangat berangkat ke musola tak pernah padam. Meski tak sekalipun selepas itu saya melihatnya lagi mengisi tausyiah.
Sampai pada akhirnya, Idul Fitri tiba. Ya, ustad muda itu memang hanya sekali mampir di musola tempat saya beribadah. Ternyata 30 hari bulan ramadhan, saya baru sadar ini subuhan paling rajin sepanjang saya menjadi manusia. Astaghfirulloh dari dulu saya habiskan waktu untuk tidur lagi selepas sahur.
Lepas ramadhan berlalu, saya tak pernah lagi melihatnya mengisi tausiyah. Entah di mana rimbanya. Padahal kami bertetangga. Saya tahu betul dia anak RT sebelah. Saya tahu diri, saya bukan siapa-siapa yang hanya mendengar suaranya lewat tausyiah. Saya lebih tahu diri, niat saya beribadah menjadi tercoreng karena urusan manusiawi, duniawi.
Terima kasih rasa, terima kasih suka. Terima kasih kamu yang hanya saya suka lewat mata, itu pun masih separuh tertutup tembok musola.
Maafkan saya Tuhan, makhluk yang Engkau ciptakan membuat diri ini lupa akan pencipta-Nya.
Huhu kita selalu rajin kalo ada yang dicari yaa :(
BalasHapusHahahhaha, iya aku terinspiresyennn dari kamu
Hapus