Dapat hadiah tabungan pendidikan |
Adikku, yang dulu minder karena masuk SMA di pinggiran kota, tengah sawah, bukan unggulan, kali ini lulus SMA bukan karena corona. Dia membayar tuntas tiga tahun sekolah di sana, sebelum pengumuman kelulusan sudah diterima di dua perguruan tinggi, bukan hanya itu, karena rajin mengikuti sekolah online, tahu-tahu dapat hadiah pula. Akhir yang manis menuju awal yang indah.
Dulu, awal SMA dia selalu mengeluh karena menurutnya 'terbuang' di SMA pinggiran. Tidak seperti teman-teman SMP nya yang masuk sekolah di perkotaan. Dia menyesal kenapa nilai UN tak memenuhi standar masuk SMA pilihannya. Dia murung setiap ditanya asal SMA, dia selalu pake jaket untuk menutupi almamater SMA nya.
Tapi aku memotivasinya dengan sedikit bualan di tulisan ini
Tak disangka, adikku pendengar yang baik. Kataku kala itu, bukan dari mana kamu berasal tapi bisa jadi seperti apa di mana pun tempatnya.
Ya, dia memang pendengar yang baik dan tidak menyia-nyiakan sekolah di pinggiran dengan selalu mendapat peringkat tiga besar paralel. Tak ada guru di sana yang tak mengenalnya karena memang dia pintar. Meski tidak punya banyak teman. Barangkali rata-rata temannya tak sepemikiran dan sealur kemauannya. Kataku, tak perlu lah cari teman, teman akan datang sendiri bila kita mampu mengembangkan diri.
Ya, dia memang selalu jadi pendengar yang baik. Menjelang akhir masa SMA, belajar dengan tekun dijalaninya meski sebelum UN harus menerima takdir wabah virus corona menghentikan semuanya. Dia sedih bukan kepalang, pengorbanan tambahan pelajaran, pembuktian diri yang akan dilakoninya pada saat UN buyar begitu saja saat ada pengumuman UN ditiadakan.
Kebanyakan teman-temannya senang. Hanya sedikit yang sedih seperti adikku karena hafalan rumus fisika selama ini, tambahan pelajaran fisika selama ini, hari libur yang terenggut untuk tambahan mapel UN selama ini, sia-sia.
Ya, menurut adikku sia-sia. Padahal, jika dia melakoninya dengan ikhlas, harusnya bersyukur karena kerja keras belajarnya berbuah dia makin pintar tanpa perlu diuji lewat UN.
Ketika UN ditiadakan, dia tetap melakoni belajar dari rumah lewat online. Katanya, bingung kegiatan setelah UN ditiadakan mau ngapain lagi? Jawabannya, dia belajar.
Dia memang benar-benar tekun belajar. Katanya, senang bisa menjawab soal bagaimana menjawab kuis - benar - lalu dapat hadiah. Dia memang menjawab dengan benar, hingga akhirnya mendapat hadiah. Kami sekeluarga kira hanya bercanda. Rupanya, jadwal pengambilan hadiah di bank bukan pura-pura. Ibu senang dan bangga. Kami sekeluarga gembira.
Ditambah sebelumnya, dia sudah dapat pengumuman diterima perguruan tinggi lewat jalur nilai rapor. Yang pertama di Semarang, dia lulus karena nilai dan tes langsung di sana. Kedua, di kampus jenderal, murni lewat jalur nilai rapor. Tapi dipilihnya, jalur kedua dengan alasan lebih dekat dari rumah jadi bisa irit biaya. Meski peluang di dua perguruan tinggi sama bagusnya, tapi kembali lagi mau meracuni adikku, "Bukan di mana tempatnya, tapi bisa jadi seperti apa di mana pun kamu berada".
Kekecewaan adikku masuk di SMA bukan pilihannya dia perbaiki dengan rajin belajar. Aku jadi teringat novel Tere Liye Rembulan Tenggelam di Wajahmu yang belum sempat direview. Salah satu kutipannya adalah "Kita bisa menukar banyak hal menyakitkan dengan sesuatu yang lebih hakiki, lebih abadi. Rasa sakit yang timbul itu sementara, pemahaman dan penerimaan tulus dari kejadian menyakitkan itulah yang abadi (hal 212)."
Dan adikku memilih untuk menerimanya. Menerima bersekolah di SMA bukan unggulan, dan berakhir menjadi siswa unggulan.
Jadi untuk adikku yang tinggal menunggu hari pertama perkuliahan, terima kasih sudah membuktikan pada diri sendiri, kamu bisa kamu mampu. Tetap belajar meski masuk perguruan tinggi tanpa tes.
Waaaah aku terharu. Sekamat buat adiknya Triana. Jadilah pribadi yang baik dan santun dimanapun kamu berada. Doa baik akan selalu menyertaimu. Salut!
BalasHapusYah typo. Selamat, maksudnya.
HapusTerima kasih sisteuur, adikku ikutan baca komentarnya katanya Aamiin terima kasihh.. doa baik kembali pada yang mendoakan
Hapus