Selamat datang di kontrakan baru!
Awal bulan ini kami memilih pindah tempat tinggal. Setelah kurang lebih
lima bulan di kontrakan yang lama, kami memutuskan butuh tempat tinggal yang
sedikit lebih lega. Setidaknya agar aku bisa belajar masak. Karena ketika di
kontrakan yang lama, aku sama sekali tidak pernah di depan kompor. Kompor satu
tungku yang dibawa jauh-jauh dari kampung, tiap hari hanya aku pandangi tanpa
pernah dipasang tabung gas. Hasilnya, aku dan suami selalu beli makanan di
luar. Boros? Pasti.
Tapi, kami melakukan itu memang karena kontrakan lama hanya satu petak,
sehingga tidak cukup jika dipasang kompor. Sekalinya memasak, itu pun hanya
memasak nasi atau sop yang bisa menggunakan magic com. Kontrakannya yang
terlalu kecil, atau mungkin memang aku dan suami yang tak pandai menata tempat?
Pada akhirnya, di sini kontrakan kedua yang aku tempati bersama suami.
Kami memilih jauh dari pusat kota. Sebuah rumah dari pemilik warung makan di
dekat tempat kerja suami yang jarang ditempati dan memilih mengontrakan
rumahnya. Pertama kali survey dan aku juga hanya satu kali menyambangi, buatku
langsung merasa aman. Entahlah, bukan arti nyaman, tapi yang penting aman.
Singkat cerita, aku dan suami pindah tepat di awal bulan. Rumah ini
memiliki dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, ruang tengah, ruang tamu dan
paling depan ada teras. Suasana di sini dingin. Hampir tidak pernah menyalakan
kipas, karena memang keramik lantainya saja terasa dingin walau di siang hari. Sekalipun
musim kemarau seperti saat ini, tapi di dalam rumah tidak pernah merasa gerah.
Air yang digunakan langsung dari pegunungan. Dan sepertinya setiap rumah
di sini memang menggantungkan kebutuhan air bersihnya pada air yang mengalir
langsung dari pegunungan. Terlihat selang-selang dari berbagai macam ukuran,
dari mulai besar sampai ke kecil, melintasi di sepanjang jalan di setiap rumah
warga.
Banyak pengalaman pertama yang aku rasakan selama kurang lebih dua
minggu di tempat ini. Halaman depan yang langsung menghadap ke masjid, membuat
rumah ini semakin tampak adem. Hal terbaiknya adalah setiap subuh sudah tidak
perlu lagi alarm, karena speaker masjid langsung menggema membangunkan penghuni
rumah-rumah di sekitarnya.
Selain pemandangan masjid dengan cat hijaunya, di depan rumah ini juga banyak tumbuh tanaman liar yang rata-rata berwarna hijau. Salah satu tanaman yang baru pernah aku lihat dan kemudian aku memakannya adalah Takokak. Suami hafal betul dengan tanaman ini dan sudah biasa memakannya. Langsung saja di hari kedua kami mencoba membuat sambel dari Takokak ini.
Tanaman Takokak mirip Leunca tapi dengan buah yang lebih keras. Warna hijaunya
lebih muda, dan jika dimakan mentah rasanya lebih langu dari Leunca. Aku
memilih mengolahnya lebih dahulu dari pada dimakan mentah.
Selain Takokak, ada pula sayur bayam yang tumbuh liar. Liar karena kedua
tanaman itu tumbuh sendiri tanpa direncakan untuk ditanam. Untuk sayur bayam belum
pernah aku petik. Pemilik rumah memang mengizinkan aku dan suami untuk
mengambil apa saja yang ada di depan rumah, karena itu bagian dari pemilik
rumah.
Sepertinya masih banyak jenis-jenis tanaman lain yang belum mampu aku
deskripsikan satu per satu. Aku masih beradaptasi sekaligus menikmati suasana
yang ada di sekitar rumah ini.
Terima kasih suamiku karena aku mulai bisa belajar memasak dengan tempat
yang cukup. Segala kenyamanan yang kau usahakan telah membuatku bahagia dan
bersyukur dengan keadaan ini.
Tetap semangat untuk hunian yang nyaman selanjutnya. 😊
Komentar
Posting Komentar