Seorang anak
tak perlu tutorial untuk belajar bagaimana mengoperasikan seperangkat komputer.
Seorang anak tak perlu bertemu untuk bermain bersama teman-temannya. Karena
dunia anak kini telah diisi oleh komputer, game, dan budaya online.
Dulu, butuh waktu lama untuk mampu
mengoperasikan seperangkat komputer. Hal ini dialami oleh orang tua yang baru
belajar menggunakan media komputer dalam pekerjaannya. Tapi sekarang,
perkembangan teknologi begitu cepat hingga memaksa setiap orang harus mampu
selangkah lebih maju dari media yang ia gunakan.
Lain halnya di dunia anak-anak,
penggunaan media baru menjadi teman sehari-hari mereka. Ya, sekarang ini setiap
anak dapat dengan mudah menggunakan beragam media untuk dapat terhubung ke
internet. Meski awalnya anak-anak hanya menggunakan internet untuk bermain,
tapi sadar atau tidak hal itu akan merubah struktur sosial yang ada di dalam
masyarakat. Seperti teman bermain, budaya game online, dan dunia pendidikan
anak akan mengalami perubahan seiring dengan masuknya media baru dalam dunia
anak-anak.
Media
Baru dan Anak-anak
Dunia anak sebenarnya erat
kaitannya dengan dunia bermain. Masa anak-anak adalah masa dimana orang akan
bermain secara bebas, mengikuti langkah kaki untuk terus berlarian bersama
teman-temannya. Tapi dunia anak yang sekarang masihkah seperti dunia anak di
masa lampau?
Jika dilihat, anak-anak di era
modern sangat jauh berbeda dengan anak-anak beberapa dekade yang lalu. Dimulai dari
dunia bermain mereka, hingga dunia pendidikan anak semuanya mengalami perubahan
besar. Perubahan ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi, atau yang lebih dikenal dengan media baru. Media baru telah merubah
kebiasaan anak, bahkan hampir di segala bidang. Anak-anak sekarang tak bisa
lagi disamakan dengan masa anak-anak yang dulu.
Beberapa klaim besar telah dibuat
tentang dampak media baru pada kehidupan anak-anak. Seperti ide anak-anak
sendiri, teknologi baru sering diinvestasikan dengan fantasi paling intens dan
ketakutan. Dalam skenario ini, anak-anak dianggap baik sebagai pengguna media
dan sebagai orang-orang yang paling berisiko dari perkembangan media baru. Oleh
karena itu masa anak-anak menyediakan lensa mengungkapkan di mana banyak aspek
yang lebih luas dari media baru dapat lebih terlihat jelas (Buckingham, 2001).
Pengguna internet tidak hanya
semakin bertambah banyak dalam jumlah, namun juga semakin luas cakupannya
termasuk rentang usia. Kini, anak-anak pun menjadi pengguna. Anak-anak yang
merupakan bagian dari masyarakat pun mengalami metamorfosis, mereka adalah
anak-anak yang disebut dengan cyberkids atau the digital generation (Facer
& Furlong, 2001; Buckingham, 2006; Tapscott, 1999; dalam Livingstone,
2011:348). Saat ini banyak anak-anak yang telah mengenal internet dan sudah
mahir pula untuk memainkannya bahkan dibandingkan dengan orang dewasa mereka
lebih mahir.
Keunggulan yang diberikan oleh
media ini memang sangat menarik perhatian bagi para pengguna, khususnya
ana-anak. Anak-anak terutaman cyberkids memang memberikan sebuah keadaan yang
baru untuk berpindah menggunakan media baru, tetapi sebagai orang dewasa yang
baiknya jangan terlalu membebaskan anak-anak dalm penggunaan media baru ini.
Mereka masih memerlukan pengawasan dari
orang tua agar kemunculan teknologi baru ini tidak condong kearah negatif dan
tentunya malah akan merugikan diri mereka.
Budaya
Online pada Anak-anak
Kehadiran bentuk budaya baru sering
disambut dengan berbagai respon yang tajam. Hal ini juga terjadi pada digital
media. Di satu sisi, new media ini
terlihat memberikan potensi positif yang sangat besar, khusunya untuk
pembelajaran. Sementara di sisi lainnya mereka sering kali terlihat berbahaya
untuk perkembangan anak-anak.
Kemudahan mengakses informasi
berkat adanya internet memang akan memudahkan banyak orang. Namun bagaimana
jika terlalu mudahnya akses informasi itu, justru akan menjadi boomerang bagi
anak-anak?
Media digital sering kali terlihat
menjadi pengaruh yang buruk pada kebiasaan anak-anak dan secara umum
menyebabkan peniruan kekerasan. Efek grafis yang lebih realistis ini
menyusulkan semakin besar kemungkinan mereka untuk mendukung kebiasaan
‘copycat’ (Provenzo, 1991). Artinya anak-anak yang melihat efek grafis
seolah-olah apa yang mereka lihat di layar sangat mirip dengan kenyataan. Termasuk
ketika mereka memainkan video game online, kekerasan pun dapat menjadi hal yang
wajar karena gambar yang mereka lihat begitu jelas dan begitu nyata.
Dengan demikian, telah ada
beberapa studi klinis dari fenomena seperti ‘Nitendo Elbow’ dan epilepsi yang kata
orang cocok pada kecanduan komputer dan ini merupakan efek negatif pada
imajinasi anak-anak dan prestasi akademik (Griiffiths, 1996).
Budaya online pada anak-anak juga
akan membuat berubahnya kebiasaan bermain mereka. Dari yang semula cara bermain
mereka dilakukan dengan saling bertemu, berlarian di tanah lapang, atau sekadar
memainkan petak umpet di gang depan rumah, kini hadirnya media baru membuat
anak-anak menjadi lebih individualis.
Media baru membuat anak-anak
menjadi antisosial, dan menghancurkan interaksi manusia yang normal bahkan
hubungannya dengan kehidupan keluarga. Fenomena ‘Otaku-Zoku’ atau ‘stay-at home
tribe’ di Jepang menunjukan bahwa mereka lebih menyukai komunikasi virtual
serta keadaan tanpa nama (anonymity) untuk interaksi sehari-hari mereka (Tobin,
1998).
Berkembangnya media baru juga
kurang diselaraskan dengan dunia pendidikan pada anak. Kegemaran anak dalam
bermain game online kurang didukung dengan berkembangnya media baru untuk dunia
pendidikan. Akibatnya akses pendidikan di media baru ini kurang didukung dan
lebih banyak game yang disajikan hanya berupa hiburan tanpa ada unsur edukasi. Hal
ini tentu sangat memprihatinkan. Hadirnya media baru yang diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pendidikan, justru menambah daftar panjang efek negatif
yang ditimbulkan pada anak-anak.
Peran
Orang Tua pada Anak
UNICEF, bersama dengan Kementerian
Komunikasi dan Informasi, The Berkman Center for Internet and Society, dan
Harvard University, melakukan survey nasional mengenai penggunaan dan tingkah
laku internet para remaja Indonesia. Studi ini memperlihatkan bahwa ada
setidaknya 30 juta orang remaja di Indonesia yang mengakses internet secara
reguler. Jika masyarakat Indonesia sampai saat ini memiliki 75 juta pengguna
internet, itu berarti hampir setengahnya adalah remaja.
Implikasi dari hadirnya media baru
ini terdapat implikasi positif maupun negatif. Untuk media baru pada anak,
perlu disinergikan dengan pendidikan. Ketika orang tua menyadari anak-anaknya
telah berubah akibat game, maka perlu diawasi dan dibekali yang cukup untuk
membuat anak-anak menjadi paham dalam menyikapi media baru, terutama game.
Memang benar anak-anak sudah
dikenalkan untuk tahu media agar saat pertama membuka media baru, mereka tahu
apa yang harus dilakukan dan itu merupakan hal yang positif. Karena kebanyakan
anak tidak tahu harus berbuat apa saat menggunakan media baru. Sebagai orang
dewasa harus meluruskan pemakaian internet bagi anak-anak agar mereka mampu
memanfaatkan dengan benar media baru yang digunakannya.
Referensi
Buckingham, D. (2000) After the Death of Childhood: Growing up in
the age of electronic media. Cambridge: Polity
Lievrouw, Leah A. & Sonia
Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social
Consequences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. Chapter 3 : CHILDREN AND
NEW MEDIA
Tobin, J. (1998) An American Otaku
(or a boys virtual life on the net), in J Sefton Green (ed). Digital
diversions: Youth culture in the age of multimedia. London: UCL Press pp:
106-27.
http://id.techinasia.com/laporan-30-juta-pengguna-internet-di-indonesia-adalah-remaja/
Komentar
Posting Komentar