Cover Novel Orang-orang Gila |
Judul Buku : Orang-Orang Gila
Penulis : Han
Gagas
Cetakan : Februari 2018
Penerbit : Mojok
Tebal : viii + 256 halaman
ISBN : 978-602-1318-45-4
Genre : Fiksi
Ketika yang
waras masih bisa berteriak orang gila, nyatanya banyak orang-orang waras tak
lebih bermoral dari orang-orang gila
Berkisah
tentang dua orang bernama Marno dan Astrid. Jalan hidup bagi Marno dan Astrid
terasa begitu mudah dilalui. Tak ada persoalan yang mesti diselesaikan sampai
lelah. Tak pernah ada kebimbingan maupun ketakutan yang menghantui kehidupan
mereka, sebab semua itu telah melebur bersama khayalan-khayalan yang tak bisa
dikekang oleh hukum apa pun. Ya, mereka gila. Kadang tertawa, kadang menangis,
kadang menjerit, kadang diam. Seakan telah lupa apa itu rasa, keduanya menjalani
hidup mengikuti alur langkah kaki berjalan.
Peduli
setan meski hidup dikepung cacian, biar pun terpenjara dalam bangsal. Hidup
terus berjalan seperti adanya. Toh orang-orang gila juga tak merasa dikucilkan,
kata Han Gagas pengisah orang-orang gila ini. Han menggambarkan detail
tempat-tempat yang sebelumnya tak ingin dijamah manusia waras. Seperti tempat lokalisasi
pelacuran, rumah tahanan, dan rumah sakit jiwa. Ketiga tempat ini menjadi
seting utama sepanjang Marno dan Astrid diceritakan.
Setiap
orang gila tak pernah terlahir menjadi gila, tentu awalnya memiliki kewarasan.
Hidup seperti orang-orang normal pada umumnya, bertingkah sewajarnya, berekspresi
seperlunya. Sama halnya dengan Marno dan Astrid. Awalnya punya keluarga. Hingga
suatu kisah masing-masing dari mereka mengalami kemalangan yang tak pernah
dibayangkan sebelumnya.
salah satu bab dalam novel |
Ketika
yang disebut manusia masih punya akal dan pikiran justru berbuat
sewenang-wenang pada sesama manusia yang lain, masihkah pantas sesama manusia
mengatai manusia yang lain gila?
Jika
yang disebut manusia derajatnya paling tinggi dibanding makhluk lain, masihkah
manusia makhluk yang mulia sedang kelakuan mereka tak ubahnya binatang yang hanya
melampiaskan nafsu?
Siapa
yang waras dan siapa yang gila? Marno dan Astrid pada akhirnya tak bisa melihat
sisi kemanusiaan dari orang-orang sekitar mereka.
Ketika
Marno dan Astrid butuh tempat berlindung, orang-orang di sekitarnya yang
mengaku waras justru malah mengusirnya. Menganggap mereka tak lebih beradab
dari orang-orang yang mengejek, mencela, mencaci dan memaki kelakuan Marno dan
Astrid. Padahal, jauh sebelum tingkah laku Marno dan Astrid berubah, keduanya menderita
secara psikis dan tersakiti secara fisik.
Asal
usul Marno dan Astrid dikisahkan tersendiri. Kisah pilu keduanya yang merenggut
sisi kewarasan mereka tergambarkan bab demi bab dalam buku ini. Hingga suatu
masa keduanya dipertemukan dan kegilaan mereka mulai luntur. Ketika mereka
terpaksa melihat persoalan dari standar kewarasan kebanyakan orang, keduanya
malah menderita. Meski sebenarnya tak begitu jelas apakah Marno dan Astrid lah
yang waras atau dunia yang mereka tempati yang gila.
Orang-orang gila memang tak punya
akal. Berbuat semau dan sekehendaknya sendiri. Orang-orang waras
pasti punya akal, namun kadang lupa meletakkan
akal untuk sebuah moral.
Buku
ini melihat sudut pandang persoalan orang gila. Kita tak pernah tahu apa yang
dipikirkan orang gila, apa yang ada di benak mereka, dan apa sebab mereka
kehilangan akal. Melalui dua tokoh utamanya, penulis mencoba menceritakannya. Meskipun
ini kisah fiksi, namun kerap kali panggilan orang gila terdengar di sekitar
kita. Kisahnya begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari yang terjadi di
sekitar kita. Banyak orang-orang yang kehilangan akal berada di jalanan. Sama halnya
dengan kisah pada buku ini. Semakin membaca bab demi bab pada buku ini semakin
merenungi arti kewarasan bagi sebagian manusia.
Penulis
berhasil mengisahkan orang-orang gila sebagai gambaran mereka di kehidupan
nyata. Bagi saya yang penyuka genre semacam ini, memang novel ini berhasil
menguras emosi, menjadi salah satu favorit untuk dibaca.
Komentar
Posting Komentar