tiga orang dalam satu kamera (saya dan dua orang di belakang) |
Manusia adalah pembelajar
yang baik. Berikut adalah cerita saya yang belajar dari ketiga orang yang
berbeda dengan karakter yang berbeda, dengan hasil pembelajaran yang berbeda
pula. Sesungguhnya ketiga teman yang pernah dekat kemudian pergi tanpa sambat bukan
berarti tak ada pelajaran yang tak bisa didapat.
Pertama
Berulangkali makan di luar
sama keluarga kadang ibu heran kenapa saya lebih memilih memesan air putih
ketimbang sajian minuman es lainnya. Jawab saya, “Ngga apa-apa bu biar ngga
seret.”
Sebenarnya alasan lebih
sering meminum air putih atau air putih dingin karena saya pernah dikomentari
teman (yang pertama) ketika sedang makan. Dia mengomentari pesanan minum es teh
saya dengan berkata,
“Kalau makan sebaiknya jangan minum es teh,
mending es jeruk,”
(soalnya dia pesan es jeruk)
“Kenapa ngga boleh es teh?”
“Karena kandungan yang ada dalam teh bisa
menyerap nutrisi dari makanan yang kita makan. Jadi tidak disarankan kalau
minum teh sehabis makan. Tapi yang paling baik air putih si biar proses
mencerna makanannya lebih maksimal,”
“Kalau minum kopi atau good*** atau minuman
berasa?”
“Proses mencerna makanannya jadi lebih berat,”
“Oh.”
Saya tutup percakapan saat
makan dengan OH. Tapi tahukah jika sebenarnya sejak saat itu, saya mengurangi
pesanan es teh, teh anget sehabis makan kalau tidak sangat kepepet (misal
restaurant terlalu mahal, otomatis milih es teh yang paling murah dengan
catatan tak ada menu air putih), atau bukan karena paket lengkap (biasanya nasi
ayam plus es teh), maka saya lebih memilih pesan air putih.
Bagi saya yang dari
jurusan sosial, perihal minuman sehabis makan yang terpenting rasanya enak
menyegarkan dan murah. Bagi dia yang dari jurusan eksakta, segala hal yang
masuk ke dalam tubuh manusia perlu diperhatikan dan dilihat kandungan
nutrisinya. Dalam batin saya, repot sekali hidupnya.
Tapi dari dia, saya
belajar untuk lebih memperhatikan asupan nutrisi yang masuk ke dalam tubuh.
Mulai dari hal sepele, minum air putih!
Kedua
Chat basa basi
yang sering saya kirimkan, “Lagi di
mana?”
Dia kirim
gambar “Lari-lari di lapangan.”
Di lain
kesempatan dan lain hari, “Lagi di mana?”
Dia kirim
gambar “Lari di pinggir jalan raya.”
Pada waktu
sore hari “Lagi di mana?”
Dia kirim
gambar “Punggung temannya yang sedang lari di pinggir jalan,”
Ketika malam
hari, “Lagi di mana?”
Dia kirim
gambar “Lari di alun-alun.”
Suatu ketika, “Lagi di mana?”
Dia kirim
gambar “LARI MENUJU PUNCAK SLAMET.”
Bosen ngga bacanya?
Se-bosen saya berbasa basi dan melihat gambarnya sedang berlari.
Saya bukannya tidak
menyukai olahraga, nyatanya saya gemar menjadi penonton penikmat dan komentator
pertandingan badminton dan sepak bola. Tetapi untuk olahraga lari, saya
memiliki pengalaman tidak menyenangkan semasa sekolah hingga lulus. Dari zaman
SD sampai SMK, saya adalah pelari paling lama waktunya, paling jauh jaraknya
(deretan belakang sendiri), paling mual setelahnya (biasanya sehabis lari 2,4
km saya mual plus muntah).
Melihat teman saya yang
gemar berlari, dari dia saya belajar bahwa kebahagiaan hakiki letaknya dalam tubuh
yang sehat bukan dari materi. Suatu hari dia bilang tak bersemangat, mungkin
karena pekerjaan, masalah keluarga, atau urusan pribadi yang tak saya pahami.
Eh sore harinya dia sudah berada di lapangan untuk berlari.
Katanya, “Lari itu bikin semua masalah jadi plong,
sehabis lari badan langsung seger lagi. Aku sebenarnya suka cewe yang larinya
cepet.”
Oke terima kasih karena
saya adalah perempuan siput. Bisa lari cepat kalau saya memakai strategi jitu
cenderung licik.
Meski secara harfiah saya manusia
yang jarang berolahraga, tapi darinya saya belajar menjadi bahagia salah satunya
memiliki tubuh yang sehat. Bagi saya yang dulunya sering sakit-sakitan, saya
akan lebih memperhatikan kesehatan jasmani dan rajin olahraga. Minimal melakukan
olahraga yang saya gemari, senam lantai di atas kasur (rol depan, rol belakang
dan sikap lilin).
Ketiga
Mumpung masih muda suka
main, itu biasa. Tapi main untuk mengembangkan potensi diri, itu baru luar
biasa. Apalagi mainnya sekaligus untuk mendapatkan uang, itu bonus menjadi
seseorang yang istimewa.
Teman saya yang satu ini
bagaikan burung yang terbang di langit lepas. Jauh dari keluarga untuk
merantau, tak punya sangkar karena tak memiliki pekerjaan tetap, tapi dikenal
banyak orang karena keahliannya yang beragam. Kok bisa demikian?
Saya pernah
bertanya, “Kenapa si ngga mau kerja di
instansi? Padahal kan enak jam kerja udah diatur, tinggal di dalem ruangan,
gaji selalu di awal bulan, apalagi kamu punya peluang gampang banget buat kerja
di sana”
Katanya, “Bukan ngga mau, kalau jalannya kerja di sana
ya mau. Tapi dasarnya saya orangnya suka bebas, suka main, ngga suka dikekang
sama peraturan yang terlalu mengikat, saya lebih bahagia nyari uang dengan cara
sendiri.”
Dia membuktikan. Seperti
kegemarannya suka main dan suka bebas, dia punya banyak kelebihan yang
dikembangkan secara otodidak. Terutama dalam hal seni yang menjadi
kegemarannya. Dari yang semula hanya seorang mahasiswa bukan siapa-siapa, kini
sudah sering jadi pembicara dan mentor di berbagai acara.
Darinya saya belajar bahwa
meski tak senang dengan peraturan yang mengikat, tapi bisa bertanggung jawab
memilih sesuatu dengan cara yang terbaik.
Dia bahagia dengan caranya
sendiri!
Teman 123
Banyak pelajaran yang
dapat diambil dari mereka. Hal positif dari mereka selalu mudah untuk diingat. Saya
membayangkan suatu hari, berteman pertama dengan seorang ilmuwan, berteman
kedua dengan olahragawan, berteman ketiga dengan seniman. Bahwa seorang teman
yang pernah berkenalan menjadi teman, tetap akan berteman dengan jalan
pertemanan.
Komentar
Posting Komentar