“Rambutnya keriting.
Badannya mungil. Marganya Silalahi. Kelahiran Betawi. Entah mengapa, teman yang
paling dikangenin”
Liburan semester 3 telah berakhir.
Di hari kedua perkuliahan, kampus sepi. Kuliah pun cuma perkenalan, kontrak
belajar dan pulang. Ah, masih kah seperti ini, membosankan sekali. Teman-teman
pun belum pada hadir. Bangku yang terlihat belum separuh terisi. Dan di pagi
tadi, terlihat kelas B keluar menuruni tangga saat aku baru saja akan masuk
kelas A.
“Tri...”
Diam sejenak. Pandangan menuju tangga
yang dituruni seorang bercelana jins biru dan baju putih.
“Tanggg..”
Badanku berbalik dan berlari ke
arah tangga. Berpelukan... tingkah pertama yang kami lakukan. Tak sadar ada
adik angkatan di belakang ingin dipeluk juga, Arif, eh. Tak peduli adik
angkatan, kami lepas kangen dengan tingkah demikian. Seakan tak ingin lepas,
berpelukan sampai berputar.
Ya, dia temanku. Lintang
panggilannya. Ciri-cirinya seperti tadi di atas. Kami hanya benar-benar satu
kelas di semester pertama. Semester selanjutnya kami pisah kelas. Tapi yang
namanya teman sejak zaman PKKM (kegiatan pertama yang diikuti maba) dan hingga
saat ini, dia tetaplah teman yang pertama ku kenal. Masih seperti dulu berambut
keriting. Keteledoran menjadi ciri khas yang paling menonjol darinya. Tapi aku
tetap menjadi temannya.
Memasuki awal semester 4 ini, aku
baru bertemu dengannya di hari kedua perkuliahan. Dia memang libur di hari
Senin, sedangkan aku di hari Jumat. Lagi-lagi di semester ini kami tak satu
kelas.
Tapi, melihatnya pertama kali
sejak liburan semester, entah mengapa kangeeeen banget. Entah berapa huruf dari
kata kangen yang bisa digambarkan dari perasaan kangen ini. Aneh. Padahal sesekali
juga masih ketemu. Meski cuma sekelebat dan hanya menyapa, “hay Tang” --- “hay
Tri” tapi bagiku itu bukanlah suatu pertemuan. Dan baru kali ini, aku merasakan
betapa kangen melihatnya kembali ke Purwokerto. Ah, penggambaran yang
hiperbola.
Lepas temu kangen, aku ajak dia
mengikuti kelas A yang seharusnya tidak ada di jadwal aslinya. Kami seakan
kembali maba, berjalan bersama menuju kelas yang sama. Awalnya kupikir dia cuma
ngantar. Tapi ternyata karena di kelas sudah ada dosen dan ia pun aku tarik
duduk di dalam, tepatnya paling depan.
Kami bercerita banyak. Bahkan
cerita di kelas berlanjut sampai di kantin. Tak peduli kantin masih sepi,
cerita kami bertahan hingga kantin penuh di jam istirahat.
**
Hay Tang. Kenapa ya aku paling
nyaman cerita panjang lebar menyoal kampus, teman hingga hal-hal di luar itu,
sama yang bernama Lintang?
Jika dilihat dari kesamaan, sebenarnya perbedaan kami
sangat jelas terlihat. Tapi rasa ‘enak buat diajak cerita’ mengalahkan itu
semua Tang. Diantara teman seangkatan, kamu memang yang paling banyak mendengar
cerita blak-blakanku. Dan aku pun tahu, aku yang paling banyak dengar cerita
aslinya kamu. Jika di Solid ada Mba Riska yang buat aku nyaman cerita panjang
lebar keluh kesah dan bahagia soal Solid, di luar kampus ada teman SMP yang
hingga saat ini menjadi tempat cerita segala pengalamanku, di FISIP ada anak
bernama Burham yang buat aku nyaman cerita menyoal FISIP, tapi di komunikasi
ada Lintang anak betawi dengan marga batak yang selalu curhat perihal kampus, teman,
bahkan jodoh yang ia harapkan. Masih sama jodoh yang kamu harapkan di awal
cerita semester satu? Hehe.
masih sama kok, kan ini masih lintang yang dulu.
BalasHapusmove on tanggg
BalasHapus