Langsung ke konten utama

Masyarakat dan Media Baru: Organic Community menuju Virtual Community

Bertatap muka sekarang ini bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Asalkan punya akun, maka setiap orang di berbagai belahan dunia bisa terhubung. Betapa mudahnya bukan? Hal ini telah mengubah struktur sosial yang terjadi di masyarakat. Dari organic community menuju virtual community.
Pembahasan lanjutan mengenai teknologi komunikasi, berbicara tentang community with media. Kali ini membahas Chapter2: Creating Community with Media: History, Theories and Scientific Investigation. Ada perubahan yang terjadi di masyarakat. Terbentuknya beragam komunitas rupanya tidak hanya terjadi lewat pertemuan langsung. Namun sekarang ini justru banyak komunitas yang terbentuk melalui media, salah satunya media sosial. Sebelum sampai pada pembahasan lebih lanjut, pembahasan pada chapter ini dibagi menjadi 3 bagian. Pertama, membahas mengenai sejarah perkembangan antara media dengan komunitas, kemudian yang kedua mengenai perkembangan media, yang ketiga tentang metodologi yang menunjukan kontur agenda penelitian yang berorientasi pada eksplorasi lebih lanjut mengenai komunitas antara masyarakat dan media baru.
Sejarah
Mengenai perkembangan yang terjadi antara masyarakat dengan media baru, memang membawa perubahan besar. Bukan saja dalam bidang teknologi, namun perkembangan ini pun merubah kebiasaan masyarakat dalam berkomunikasi. Perkembangan hubungan antara media dengan komunitas dapat digolongkan menjadi tiga gelombang, yakni:
a.        Gelombang Pertama: Masyarakat dan Studi Media
Merton 1949 (dalam Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006) menindaklanjuti perbedaan ini dalam studinya tentang ‘Rovere’ dan mengidentifikasi dua kelompok warga: localites dan kosmopolitan. Localites yang berorientasi pada masyarakat setempat, terlibat dalam kegiatan sosial berbasis lokal dan terutama hadir untuk koran lokal sebagai sumber untuk berita lokal. Kosmopolitan, sebaliknya, memiliki orientasi yang lebih luas dan berbagai kegiatan sosial, dan media yang dikonsumsi dari luar wilayah. Dengan kata lain, untuk masyarakat kota baru mengenal koran. Dan mereka lebih menyukai berita-berita yang berasal dari luar wilayah. Sedangkan untuk masyarakat desa, mereka hanya mendapat mendapat dan lebih memilih informasi lokal.
b.        Gelombang Kedua: Komunitas Media Elektronik
Sistem penyebaran televisi kabel  pada akhir tahun 1960an  dan awal taun 1970an, sebuah  kepercayaan baru pada ketertarikan yang dikembangkan secara geografis  dijelaskan untuk menggunakan teknologi komunikasi ini untuk  inisiatif  dan aksi komunitas. Selain itu, televisi juga digunakan untuk kepentingan politik. Prehn 1992 (dalam Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006) menunjukkan bahwa penggagas media komunitas sering melebihkan kebutuhan orang untuk mengekspresikan diri melalui media.
c.         Gelombang Ketiga : Era Internet
Arti dan pentingnya gelombang ketiga ini adalah pembentukan Asosiasi Internet Peneliti dan penyelenggaraan konferensi internasional pertama pada September 2000. Dan, hampir bersamaan di seluruh Amerika Utara, Eropa dan Asia, departemen akademik dan pusat penelitian baru sedang dibentuk, semua mengklaim menggunakan  ajaran baru. Beberapa inisiatif ini telah mengambil komunitas virtual atau online sebagai obyek penelitian
Aspek Positif dan Negatif
Perkembangan antara komunitas dan media baru, tentunya memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat. Dampak ini dapat dibedakan menjadi aspek positif dan negatif.
a.        Aspek Positif
1.    Pembawa kebudayaan baru, pertama kali. Contoh alat yang membawa kebudayaan baru dalam hal ini adalah radio. Radio pada awal kemunculannya sangat mempermudah penyampaian informasi. Lewat satelit, maka pemberitaan yang dilakukan cepat tersebar.
2.    Mengubah pendidikan. Seperti yang dikatakan Czitrom, 1982 (dalam Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006), bahwa media televisi ditakdirkan untuk mengubah pendidikan.
3.    Menemukan kembali komunitas yang hilang lewat dunia maya. Jadi internet bisa sebagai media untuk menemukan komunitas meski secara virtual.
b.        Aspek Negatif
Selain memberikan dampak positif, media baru juga dapat memberikan dampak negatif pada masyarakat, antara lain:
1.      Media radio dan televisi dapat dijadikan alat potensial untuk melakukan propaganda politik.
2.      Merusak tatanan masyarakat. Sadar atau tidak, media justru menjadikan masyarakat menjadi lebih individualis. Banyak hal menjadi lebih bisa dilakukan sendiri. Justru semakin sedikit orang berinteraksi secara langsung dengan orang lain. Mereka lebih memilih menggunakan berkomunikasi secara virtual community, atau membangun komunitas di dunia maya.
3.      deformasi pikiran muda dan merendahkan budaya warisan. Karena dapat melihat kebudayaan dari luar negeri, anak muda sekarang pun menjadi lebih gemar menyukai budaya luar, bahkan mereka meninggalkan dan tidak mengenal budaya dari negeri sendiri.
Karakteristik New Media
Karakteristik media baru yang digariskan oleh McQuail, 1994 (dalam Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006) berfungsi sebagai penggambaran yang berguna istilah. Ada lima karakteristik dari new media ini, yaitu:
a.     Secara umum ada peningkatan desentralisasi, artinya tidak terpusat pada satu wilayah atau lembaga.
b.    Peningkatan teknologi yang tersedia karena adanya satelit.
c.    Teknologi sudah menggunakan kabel dan jaringan komputer.
d.    Peningkatan pilihan yang tersedia bagi pengonsumsi media untuk ikut terlibat. Artinya masyarakat diajak untuk saling interaktif. Seperti komunikasi secara langsung, bedanya komunikasi ini dilakukan secara melalui layar.
e.    Negroponte, 1995 (dalam Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006) menganggap aspek terakhir ini fitur paling mendasar, dan digitalisasi baginya berarti bahwa isi dari satu media dapat diganti dengan yang lain. Penyimpanan di media pun menjadi mudah beralih. Misalnya saja penyimpanan pada akun gmail. Penyimpanan pada alamat email tidak dibatasi hingga berapa GB (Gigabyte) besarnya. Hal ini karena terdapat kelompok yang berkepentingan dalam mengelola informasi. Dengan kata lain, setiap pesan yang kita kirimkan atau kita terima, sesungguhnya sedang diamati.
Perbedaan Virtual Community dan Organic Community
Van Dijk menyaring empat karakteristik yang menurut dia lazim untuk semua jenis komunitas: memiliki anggota, ada organisasi sosial, bahasa dan pola interaksi, serta budaya dan identitas bersama.

Characteristics
Organic
Virtual
Composition and activity
Tight group (age)
Several activities
Lose affiliation
Special activities
Social organization
Tied to place and time
Not tied to place and time
Language and interaction
Verbal and nonverbal
Verbal and paralanguage
Culture and identity
Total singular
Homogeneous
Partial plural
Heterogeneous
Berdasarkan tabel di atas, untuk komunitas organik berarti mereka yang dapat bertatap muka atau bertemu secara langsung dan melakukan kegiatan rutin dalam perkumpulan mereka. Sedangkan untuk komunitas virtual, berarti mereka yang membentuk komunitas di dunia maya. Mereka berdiskusi, bahkan bisa bertatap muka, namun tidak melakukan kontak fisik.

Kesimpulan dari chapter ini, bahwa berkembangnya media ternyata telah merubah karakteristik masyarakat. Hingga timbul suatu pertanyaan, apakah nanti masyarakat mulai mengalami kerinduan yang lebih pada virtual community ketimbang organic community? Jawabannya sikapilah dengan bijak. 

REFERENSI
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. Chapter 2 : “Creating Community with Media : History, Theories and Scientific Investigations”.
McQuail, D. (1994) Mass Communication Theory: an Introduction, 3rd edn (1st edn 1983). London: Sage.
Merton, R.K. (1949) ‘Patterns of influence: a study of interpersonal influence and communications behavior in a local community’, in P.F. Lazarsfeld and F.N. Stanton (eds), Communication Research 1948–49. New York: Arno. pp. 180–219.
Negroponte, N. (1995) Being Digital. New York: Knopf.
Prehn, O. (1992) ‘From small scale utopianism to large scale pragmatism’, in N. Jankowski, O. Prehn and J. Stappers (eds), The People’s Voice: Local Radio and Television in Europe. London: Libbey. pp. 247–68.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Yang Fana adalah Waktu

Judul Buku : Yang Fana Adalah Waktu Penulis : Sapardi Djoko Damono Tahun Terbit: 2018 Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Tebal : 146 halaman ISBN : 978-602-03-8305-7 Genre : Fiksi Pernah menjalani hubungan jarak jauh atau Long Distance Relationship ? Bagaimana rasa rindunya? Bagaimana penantiannya? Bagaimana rasa saling percaya yang ditumbuhkan? Begitu pun bagaimana menjaga hati agar tetap setia? Barangkali novel ketiga dari Trilogi Hujan Bulan Juni milik Sapardi Djoko Damono bisa menggambarkannya. Sinopsis Berkisah tentang Sarwono yang ditinggal pergi kekasihnya Pingkan, untuk menempuh pendidikan di Jepang. Mereka menjalani hubungan jarak jauh Solo-Kyoto Jepang, tapi tetap saling kirim kabar. Hingga suatu hari kepercayaan diantara keduanya sempat pudar, sebab ada orang ketiga yang membuatnya nyaman. Hal yang paling sulit dari hubungan jarak jauh adalah menjaga perasaan. Masing-masing dari mereka paham betul hati mereka tertuju pada siapa. Tapi, y

Desember

Kesempatan itu terlewat pada awal tahun, tapi datang di waktu yang tepat. Rangkuman perjalanan selama setahun, dari mulai gagal, kembali rebahan, rajin kumpulan, berakhir pada meninggalkan kampung halaman..  Kembali lolos verfikasi berkas. Kedua kalinya mengikuti tes kompetensi dasar.  Tahun ini lebih siap. Waktu nganggur kugunakan untuk belajar latihan soal.  Singkat cerita, targetku peringkat pertama, tapi meleset peringkat ke empat. Gagal kedua kalinya.  Kembali rebahan.  Tapi, rebahan bukan semata-mata karena aku pengangguran, rebahan dibarengi pandemi melanda. Corona.  Masih di bulan ketiga.  Rebahanku tak bertahan lama. Para pelopor desa inisiatif untuk bantu sesama. Caranya dengan berbagi secara swadaya.  Rutin kumpulan di beberapa malam. Rutin menyalurkan bantuan warga di setiap minggunya. Hampir tiga bulan lamanya. Berhenti sejenak pada lebaran.  Lanjut ke agenda berikutnya, bertepatan aku mendapat panggilan pekerjaan.  Tanpa berpamitan pada mereka yang selalu bersama-sama, ku

Ketika Ibu Melakukan Tindakan Preventif Part II

Anak ibu ada empat. Semuanya perempuan. Sekali ada teman laki-laki yang main ke rumah, ibu bertanya, “itu siapa, anak mana, ada perlu apa, temen yang mana, temen sekolah, temen kelas, temen main, apa temen temenan?” Part I bisa dilihat di sini : Ketika Ibu Melakukan Tindakan Preventif Begitu kali ya kelak kalau punya anak semuanya perempuan. Betapa sangat dijaga dan hati-hatinya seorang ibu menyayangi anak-anak perempuannya.  Kalau dulu cerita part I itu tentang saya, kali ini tindakan preventif yang ibu lakukan untuk adik perempuan pertama saya. Dia masih SMA, cantik jelita, pinter banget pula. Kurangnya satu, nggak bisa naik motor.  Tiap hari bapak/ ibu kudu antar jemput ke sekolah yang jaraknya 6 km lebih. Suatu hari, bapak nggak bisa nganterin karena keluar kota. Ibu bisa anter tapi nggak bisa jemput karena masih kerja. Nah, ijinlah adik saya untuk pulang sekolah bareng temannya –cowo. Sekali nganterin, ijin diberikan. Eh ternyata keterusan. Alasannya, adik sa