Mirah dari Banda Edisi III |
- Judul Buku : Mirah dari Banda
- Penulis : Hanna Rambe
- Tahun Terbit : Edisi I 1983, Edisi II 1988, Edisi III 2010
- Penerbit : Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia
- Tebal : iv + 388 halaman
- ISBN : 978-979-461-770-0
- Genre : Fiksi
Pernah mendengar kepulauan Banda? Dulunya nama Banda begitu
tersohor sebagai negeri yang kaya karena memiliki salah satu rempah yang paling
dicari di dunia. Novel ini menyoroti tentang zaman penjajahan hingga perbudakan
di Kepulauan Banda akibat kekayaan alam yang dimilikinya.
Berangkat dari liburan keluarga Zakaria atau yang akrab
dipanggil Jack, ke Kepulauan Banda. Jack membawa serta teman-temannya yakni
keluarga Wendy Higgins dan Mat. Diceritakan Wendy merupakan perempuan yang tak
pernah tahu asal-usulnya dan siapa orang tua kandungnya. Hal ini karena Wendy
merupakan salah satu dari bayi yang dilahirkan ketika penjajahan di
Indonesia.
Menurut penuturan orang tua yang mengadopsi Wendy, ayahnya
merupakan prajurit Jepang, dan ibunya seorang Indo-Belanda. Hanya sampai di
situ Wendy mengenal dirinya. Sepanjang hidupnya ia terus mencari tahu dari mana
ia dilahirkan, dan selalu merasa ada keterikatan pada tempat-tempat yang baru
pernah ia kunjungi. Termasuk ketika diajak keluarga Jack mengunjungi surga
tersembunyi di timur Indonesia, Kepulauan Banda.
Ketika berlibur ke Banda, Wendy tertarik pada koki dapur yang
menyajikan masakan khas Banda. Koki tua itu bernama Mirah, bekas buruh kebun
pala yang pernah menjadi Nyai Tuan Besar. Kali pertama pertemuan dengan Wendy,
Mirah merasa heran sorot mata tamunya mirip dengan Tuan Besar yang hilang
karena jemputan tentara Jepang. Wendy pun merasa demikian, tersentuh melihat
sorot mata Mirah yang terlihat begitu cantik dan menyejukan untuk perempuan di
usianya. Tak ada yang mengetahui bahwa keduanya merupakan sepasang nenek dan
cucu.
Pada masa penjajahan Belanda, Mirah yang menjadi Nyai Tuan
Besar melahirkan Lili dan Weli. Diceritakan Lili hilang dibawa tentara Jepang.
Mirah tak pernah tahu, Lili kelak melahirkan bayi perempuan yang segera
ditinggalnya mati. Bayi itu kelak bernama Wendy yang diadopsi keluarga luar
negeri.
Berangkat dari cerita Mirah pada Wendy yang ingin mengetahui dirinya,
penulis sekaligus menuliskan sejarah pada masa penjajahan, perbudakan terutama
pada saat penjajahan Belanda, hingga Jepang.
Mirah menceritakan dirinya yang pernah menjadi buruh anak, kuli
kontrak, jugun yanfu, romusha, hingga nyai (perempuan piaraan), pada masa itu. Sebagai
kuli kontrak, Mirah tak punya banyak pilihan selain menuruti majikannya.
Termasuk ketika hendak dijadikan Nyai.
“Menjadilah saya, si Mirah, satu prampuang kontrak yang hina, yang nasibnya berada di tangan pemilik kebun pala, yang bisa dipermainkan seperti boneka!
Saya dinasihati agar menerima saja semua ini, seperti kita semua menerima kenyataan matahari akan terbit esok dari arah timur...” (hlm 202).
Perbudakan terhadap buruh kontrak memang terjadi sewenang-wenang. Kebanyakan buruh yang didatangkan dari Jawa dan Bali adalah perempuan. Menurut penuturan Mirah, perempuan-perempuan yang bekerja di perek (perkebunan) mudah sekali diperkosa oleh orang di sekitar lapangan kerja mereka.
“Kelak setelah mereka bekerja, mereka dilamar atau diperkosa oleh orang-orang di sekitar lapangan kerja mereka. Bagi para majikan tidaklah sukar mengawini mereka.” (hlm 219).
***
Masa penjajahan Belanda berganti dengan pendudukan Jepang. Kehidupan
tak lebih baik justru menjadi lebih buruk bahkan membuat Mirah berpisah dengan keluarga
kecilnya. Tuan Besar diperintahkan kembali ke negaranya karena Belanda telah
menyerah pada sekutu. Weli pun sama, karena usianya sudah di atas sepuluh
tahun, ia juga dibawa untuk ikut membela Belanda. Hanya Lili yang masih
disampingnya, sayang karena Lili keturunan Indo Belanda, ia justru ditawan
tentara Jepang.
“Wajah Lili pucat pasi. Kami tidak tidur semalaman. Tubuhnya yang kurus nyaris tidak dapat melangkah ke luar dari pengungsian kami. Seorang tentara Jepang mengeluarkan tangannya dan Lili berpegangan ke situ seraya melangkah dengan lunglai. Ia tidak menengok ke belakang.” (hlm 269)
Banyak
Mengangkat Kekhasan Pulau Banda
Cerita sejarah dalam novel ini menjadi tak membosankan karena
diselingi dengan deskripsi keindahan Pulau Banda, dari mulai lautnya,
daratannya, hingga masakan khasnya. Tak cuma berdasarkan cerita fakta sejarah,
penulis juga menambahkan cerita legenda mengenai asal muasal pohon pala menjadi
rempah paling subur di kepulauan ini.
Untuk menguatkan cerita, bahasa daerah Maluku juga masuk
dalam percakapan novel ini. Tak lupa, penulis menyertakan arti istilah setempat
pada halaman terakhir novel.
Nuansa khas Kepulauan Banda tergambarkan jelas berkat riset
mendalam yang dilakukan penulis. Profesi penulis yang seorang wartawan telah
banyak mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan kuli kontrak, maupun
tanaman khas semasa pendudukan penjajah. Karena tak semua bahan beritanya
dijadikan tulisan berita, sehingga penulis memilih untuk menjadikannya novel.
Bagi Anda penyuka sejarah, barangkali novel Mirah dari Banda
bisa menjadi salah satu koleksi bacaan yang menarik.
- Baca review novel lainnya: Orang-orang Gila
Komentar
Posting Komentar