(Selasa,9/6) - Memasuki minggu kedua Bulan Juni, masyarakat mulai terbiasa memakai masker. Entah karena keterpaksaan namun banyak juga yang atas dasar kesadaran. Aktivitas di beberapa tempat mulai kembali ramai, meski dengan atribut masker yang harus selalu menempel di wajah jika sedang berada di luar ruangan.
Sudah tiga bulan lebih lamanya, masyarakat dihadang covid-19. Tidak dipungkiri, pemerintah lamban dalam penanganan, menyebabkan beberapa masyarakat menganggap enteng virus yang bisa sembuh dengan sendirinya ini.
Pemerintah adalah cerminan dari rakyatnya, begitu kira-kira. Jika pemerintah baru bertindak ketika ada satu kasus positif yang mencuat, masyakat pun baru waspada ketika sudah ribuan nyawa jadi korban. Saat ini, belum beres pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan untuk para pasien corona, pemerintah sudah menggagas new normal sejak awal Juni. Meski tidak semua daerah bakal memberlakukan kebijakan ini, sebab pemerintah sendiri masih berhati-hati untuk memulai kebijakan baru ini.
Presiden Joko Widodo menyampaikan penerapan new normal ketika meninjau pembukaan kembali Masjid Istiqlal untuk kegiatan peribadatan jamaah. Meski belum menentukan kepastian tanggalnya, namun perlahan-lahan satu demi satu sektor akan dibuka kembali. “Pembukaan tiap sektor harus berhati-hati tetap memberlakukan protokol kesehatan,” kata presiden.
Rencananya, ada empat provinsi yang akan mulai diberlakukan new normal, yakni Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan terakhir Gorontalo. Segala persiapan pun dilakukan secara intensif di wilayah tersebut. Terutama untuk pusat perbelanjaan, perkantoran, atau tempat-tempat umum yang rawan terdapat kerumunan. Persoalannya adalah, kasus positif corona di keempat daerah tersebut masih terus bertambah. Khusus untuk Jakarta, jumlah pasien masih terbanyak se-Indonesia.
Alih-alih memikirkan cara untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona, justru menatap jauh ke depan bagaimana masyarakat bisa hidup berdampingan dengan virus ini. Maksud pemerintah tentu saja baik, ingin rakyatnya segera menatap kehidupan baru agar tidak berlama-lama terpuruk. Yang jadi persoalan, benarkah tujuannya demikian, atau malah karena pemerintah sudah kewalahan menangani pandemi ini sehingga membiarkan rakyatnya hidup berdampingan dengan virus dianggap sebagai solusi?
Menatap negara lain yang sudah lebih dulu membuka lockdown di negaranya akibat virus corona, hal ini karena tidak adanya penambahan kasus baru. Sebut saja negara di mana virus ini berasal, Wuhan, Tiongkok. Sudah membuka lockdown wilayahnya sejak 8 April lalu. Catatan medis menunjukkan, di Kota Wuhan tak ada lagi penambahan kasus baru selama dua minggu.
Hal yang sama juga dilakukan negara tetangga Vietnam, yang membuka lockdown pada 23 April lalu. Namun, Vietnam telah mengambil langkah antisipatif dini dengan melockdown wilayahnya pada awal Februari 2020. Meski kasus belum ditemukan, namun pemberlakuan protokol kesehatan langsung ditetapkan secara ketat. Vietnam adalah negara tanpa kasus meninggal akibat virus corona. Pembukaan tempat-tempat publik pun tetap dalam protokol kesehatan selama dua minggu sebagai langkah percobaan, sebelum benar-benar diberlakukan pembukaan akses tanpa syarat.
Apakah Indonesia akan meniru negara tetangga yang telah membuka akses tempat-tempat publik? Jangan gegabah. Sampai dengan hari ini, Selasa 9 Juni tercatat, 33.076 kasus positif, kemudian dalam perawatan 19.739 pasien, pasien meninggal sebanyak 1.923 positif corona, dan sembuh dari virus ini 11.414 orang. Sementara untuk Jakarta, masih menjadi provinsi dengan jumlah kasus terbanyak hingga saat ini.
Perubahan dari kebijakan memang diperlukan, namun harus pula mempertimbangkan terkait jumlah kasus yang ada saat ini dan penanganannya. Di saat kasus positif terus bertambah, membuka kembali akses publik justru rawan menjadi klaster baru penyebaran virus corona. Banyak masyarakat yang menentang kebijakan ini.
Salah satunya datang dari tenaga kesehatan dr Tirta, yang menilai penerapan new normal masih jauh dari kata siap. “Masalahnya di saat negara lain kasusnya mulai berkurang, di negara kita malah naik terus, puncaknya juga belum bisa diprediksi dengan tepat,” sanggahnya.
Sungguh miris jika melihat kembali para tenaga medis di negeri kita banyak yang kelelahan karena banyaknya kasus covid-19 yang terus bertambah. Belum lagi tentang kedisiplinan masyarakat mengenai protokol kesehatan. Beberapa masih abai dan menganggap enteng covid-19.
Seperti ketika tagline #IndonesiaTerserah ramai di jagat twitter, hal ini diakibatkan banyaknya orang yang berkerumun di salah satu pusat makanan cepat saji di Jakarta, dikarenakan gedung bangunan tersebut berencana akan digusur. Seolah lupa bahwa Jakarta masih menjadi klaster penyebaran virus corona, masyarakat justru dengan santainya membeli makanan dan rela antri berhimpitan demi untuk membeli makanan di tempat tersebut untuk yang terakhir kalinya. Tak heran, tagline tersebut ramai diposting oleh tenaga kesehatan dan masyarakat yang masih menerapkan aturan PSBB, khususnya di Jakarta.
PSBB yang diterapkan di beberapa kota memang perlahan-lahan akan mulai dilonggarkan. Ini tak berarti bahwa, Indonesia sudah bebas sepenuhnya dari virus corona. Pemerintah menghimbau agar tetap berhati-hati dalam menerapkan new normal, namun pemerintah sendiri dianggap belum siap dengan tatanan baru yang ada. New normal yang bagi sebagian masyarakat lebih tertuju kepada pusat bisnis, dan ekonomi karena dianggap sektor yang dinilai memiliki kerugian paling besar terhadap laju perekonomian negeri ini, menjadi gegabah karena pandemi ini belum memiliki tanda-tanda akan berakhir.
Belum terlihat tanda bahwa puncak covid-19 akan terjadi di negeri ini. Grafik penambahan pasien terus meningkat, dan belum mencapai puncaknya. Akan sangat riskan jika new normal yang sejatinya merupakan babak baru untuk tatanan kehidupan yang lebih baik, justru bisa menjadi klaster baru akibat masyarakat yang terlena karena merasa sudah terbebas kembali dari kebijakan pembatasan selama ini.
Bagi sebagian masyarakat yang belum merasakan atau terkena dampak langsung dari virus ini, beberapa memang seolah tak peduli dan tidak mementingkan protokol kesehatan. Hal inilah yang menambah potret buruk dari kebijakan yang belum siap dijalankan.
Pemerintah harus memikirkan kebijakan paling tepat untuk kepentingan masyarakatnya. Jangan hanya karena alasan ekonomi, alasan kesehatan menjadi dinomorduakan. Memang menjadi dilema ketika pemerintah sendiri sudah tak mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya ketika harus di rumah saja selama pandemi.
Tentu masih ingat ketika terdapat kasus satu keluarga mati kelaparan akibat tak ada bantuan yang datang selama mengisolasi diri di rumah selama pandemi. Selain pemerintah yang pro aktif membuat kebijakan, masyakatnya juga perlu tanggap terhadap lingkungan sekitar. Jangan sampai menuruti satu kebijakan membuat keadaan justru menjadi lebih buruk karena tak ada penanganan yang tepat selama pemberlakuan kebijakan tersebut.
Perlu peran aktif dari seluruh lapisan masyarakat. Babak baru setelah pandemi corona ini jangan sampai membuat masyarakat lengah terhadap virus ini. New normal bukan berarti telah bebas melakukan apa pun. Justru segala aktivitas yang akan dijalankan secara normal kembali perlu mendapat perhatian khusus mengenai protokol kesehatan yang harus dijalankan secara ketat.
Komentar
Posting Komentar