Langsung ke konten utama

Aku pilih yang mana?


“Saya pro dengan Presiden A...” lantang seorang pengajar menyuarakan pilihannya.
“Saya pro dengan Presiden B...” sanggah seorang pengajar yang lain.
Hal tersebut mengingatkanku sewaktu SMK dulu, ketika baru memakai seragam putih abu-abu, mendengar dua guru mengajar dengan angle yang berbeda jauh 18o derajat, dan murid hanya bisa diam mengiyakan apa-apa yang dikatakan sosok teladan itu.

Tapi ini berbeda, masa sudah berganti. Putih abu-abu sudah ditinggalkan hampir setahun lamanya, aku telah duduk di bangku kuliah. Duduk sebagai seorang mahasiswa, “maha” sesuatu yang dieluh-eluhkan tergambar sebagai sosok intelektual yang serba tahu, namun pengetahuannya tak lebih dari sebatas teori tentang ilmu.

Tak jauh beda ketika di SMK, ternyata di perkuliahan pun ada pengajar yang memiliki pandangan berbeda satu dengan yang lain meski pengajar tersebut mengajarkan mata kuliah yang sama. Malah, hal ini amat terlihat jelas dari cara mengajar mereka, cara mengarahkan mereka agar mahasiswa memiliki pandangan yang sama dengannya, bahkan cara mereka memberi nilai tergantung mahasiswa tersebut memiliki pandangan seperti apa.

Melihat pengajar yang jelas-jelas menerangkan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya itu memang tidak salah, karena setiap orang memang berhak memiliki pandangan apa pun bebas sesuai kehendak mereka. Namun apakah kita menerima begitu saja apa yang menjadi perdebatan dalam pemikiran kita, di saat kita mulai berpikir ke arah B kita justru dikembalikan ke arah A, apakah kita masih mengiyakan begitu saja?

Tak ubahnya SMK atau SMA jika kita masih saja demikian. Kita sudah belajar pasti kita tahu, jika ada sesuatu yang berbeda pasti itu dipertanyakan, jika itu memiliki pertentangan dalam hati dan pikiran pasti itu menjadi masalah. Masalah yang harus kita cari tahu penyelesaiannya.

Pagi ini hal itu aku alami ketika diperkuliahan mendengar ceramah dosen seperti biasa. Berangkat pagi duduk di depan seperti biasa. Meski berganti dosen, namun ingatan akan dosen pertama masih tergambar jelas bagaimana beliau menerangkan sesuatu yang jelas mengarahkan mahasiswanya ke arah B. Dosen yang baru kali ini berbeda. Pandangan mahasiswanya dikembalikan ke arah A, sangat berbeda.

Ah, ingin menyanggah tapi ada perasaan tidak enak, ingin menolak tapi bibir ini tak tega untuk berkata tidak. Akhirnya aku hanya diam, mendengar dosen tersebut bercerita panjang lebar.

Di tengah penjelasan tibalah sesi pertanyaan. Ada satu mahasiswa yang mengutarakan pandangan yang sedikit berbeda dengan dosen tersebut. Dosen menerimanya, walau tetap dosen tersebut memberi jawaban yang mengarahkan mahasiswa untuk menyetujui pandangannya.

Satu hal dibenakku, apakah pemikiran kita sudah bebas? Jika sudah kenapa hanya ada satu pemikiran yang mengarahkan pemikiran lain? Kenapa pemikiran kita terbelenggu dan tak ada celah untuk pemikiran yang berbeda?

Entah, kenapa kebebasan pemikiran masih terbelenggu oleh pemikiran yang menguasai pemikiran lain. Sebagai teladan harusnya dapat memberi contoh, namun tidak membatasi yang lain.

Mungkinkah hal ini akan berlanjut?
Bukan kali pertama mengenal dosen yang demikian, melihatnya berdebat pandangan dengan yang lain sudah sering dirasakan oleh mahasiswa. Mengiyakan kedua-duanya juga sering dilakukan mahasiswa. Entah berpura-pura iya, atau memang sungguh mengiyakannya. Sering dibuat bingung namun berpura-pura paham. Sering tak berkomentar apa pun namun dikira sudah bisa. Jika banyak bertanya akan dianggap mahasiswa yang tak tahu apa-apa.

Huh, harus menjadi apa kita ini, harus seperti apa kita ini?  
Apakah tetap menjadi manusia yang hanya bisa berpura-pura? Berpura-pura dengan ekspresi wajah yang amat meyakinkan. Berpura-pura kita sependapat walau ada pertentangan. Berpura-pura dan tak mau beradu pendapat.

Tidak semua memang, namun lebih banyak yang demikian. Sebagai pemikir harusnya mahasiswa juga tidak tinggal diam menerima semua yang mereka dapatkan. Sebagai pembimbing harusnya mampu memberikan berbagai macam pandangan agar muridnya mampu menentukan ke arah mana pilihan mereka. Bukan sebaliknya langsung menentukan pandangan hingga tak ada ruang lagi untuk pemikiran yang berbeda.

Sebenarnya aku mau, aku mau berbeda. Namun terlalu banyak perasaan yang terpikirkan. Takut salah, takut malu, takut dipermalukan, takut tak bisa menjawab. Terlalu takut lidah ini untuk berucap, tak punya nyali untuk menjawab, bisanya hanya dalam hati atau bertatap-tatap dengan teman sebelah kursi.

Ah, lagi-lagi kesempatan untuk bertanya itu terbuang. Rasa penyesalan pasti ada dalam hati. Tapi hati hanya bisa memberontak dari ketidakmampuan bibir ini untuk berucap.
Terkadang aku membenci diri sendiri, dari ketakutan untuk berkata bebas. Terkadang aku menyesal sendiri dari ketidakmampuan berucap sekadar berpendapat.

Sekali disanggah oleh dosen, kita seakan menjadi sosok yang paling kecil dan melihat dosen tersebut teramat besar di mata kita. Kita bagaikan sosok yang tak tahu apa-apa menghadapi dosen yang serba tahu terhadap hal apa pun.

Apa yang salah dari proses belajar-mengajar ini?
Sistemnya, dosennya, atau mahasiswanya?

Tak akan selesai jika mencari tahu penyebab masalah ini. Pelaku pendidikan tentu dosen dengan mahasiswa, sistemnya tentu mengarahkan dosen bagaimana mereka mendidik mahasiswanya. Itu sudah benar, yang salah jika semua itu tak saling berkaitan dan berjalan sendiri-sendiri.
Sistem mengharuskan dosen berbuat demikian, namun dosen tak mengindahkan sistem, mahasiswa tak peduli dengan sistem ataupun dosennya. Jelas ini tak berkaitan dan salah.

Proses belajar mengajar ini bisa berjalan seirama jika semua elemen saling terkait. Tak ada lagi mementingkan ego masing-masing. Tujuan yang pasti adalah menciptakan penerus bangsa yang mampu membawa negeri ini ke arah lebih baik.

Perdebatan antara dosen satu dengan yang lain jangan dimaknai sebagai seseorang yang terlalu mementingkan egonya masing-masing. Maknailah lebih kepada kepercayaan yang diyakini mereka terhadap apa yang telah dipelajari. Sebagai mahasiswa yang baru belajar perlu mencari tahu sumbernya secara langsung, misalnya dari buku. Jika dilihat dari buku memang apa yang diajarkan semua dosen tersebut tidak ada yang salah, semua benar semua ada di buku. Tinggal bagaimana kita mempelajari semua itu, dan memaknai sesuai apa yang diinginkan dosen tersebut.

Sejatinya memang tak ada sejarah yang dapat dilihat hanya dari satu sudut pandang. Ada yang menceritakannya karena kagum dengan sejarah itu, ada pula yang bercerita sebagai sosok yang membenci sejarah itu. Semua bebas, semua benar, kita harus bijak dalam membaca sejarah, jangan mengiyakan semua jangan pula menolak semua.


Sama seperti ketika kita menerima pelajaran dari bapak atau ibu dosen kita. Jangan dianggap benar semua jangan pula dianggap salah semua, aku yakin semua yang disampaikan pengajar tujuan hanya ingin mencerdaskan anak didiknya. 

Semoga,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Yang Fana adalah Waktu

Judul Buku : Yang Fana Adalah Waktu Penulis : Sapardi Djoko Damono Tahun Terbit: 2018 Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Tebal : 146 halaman ISBN : 978-602-03-8305-7 Genre : Fiksi Pernah menjalani hubungan jarak jauh atau Long Distance Relationship ? Bagaimana rasa rindunya? Bagaimana penantiannya? Bagaimana rasa saling percaya yang ditumbuhkan? Begitu pun bagaimana menjaga hati agar tetap setia? Barangkali novel ketiga dari Trilogi Hujan Bulan Juni milik Sapardi Djoko Damono bisa menggambarkannya. Sinopsis Berkisah tentang Sarwono yang ditinggal pergi kekasihnya Pingkan, untuk menempuh pendidikan di Jepang. Mereka menjalani hubungan jarak jauh Solo-Kyoto Jepang, tapi tetap saling kirim kabar. Hingga suatu hari kepercayaan diantara keduanya sempat pudar, sebab ada orang ketiga yang membuatnya nyaman. Hal yang paling sulit dari hubungan jarak jauh adalah menjaga perasaan. Masing-masing dari mereka paham betul hati mereka tertuju pada siapa. Tapi, y

Review Buku 24 Jam Bersama Gaspar : Sebuah Cerita Detektif

Judul Buku       : 24 Jam Bersama Gaspar : Sebuah Cerita Detektif Penulis             : Sabda Armandio Alif Tahun Terbit    : 2017 Penerbit          : Mojok Tebal                : xiv + 228 halaman ISBN                 : 978-602-1318-48-5 Sebuah novel detektif bercerita perampokan toko emas namun tujuan utamanya menemukan kotak hitam. Sepanjang delapan bab, penulis membuat pembaca menerka isi kotak hitam. Apa alasan terbaik mencuri toko emas namun yang diincar justru sebuah kotak hitam? Namanya cerita detektif, jangan terkecoh dengan alur cerita. Bagi yang gemar mengikuti cerita detektif tentu selalu ada maksud tersembunyi dari semua cerita yang dimunculkan. Begini cerita 24 Jam Bersama Gaspar... Gaspar dan Perampokan Toko Emas Gaspar bukan nama sebenarnya, sedang merencanakan perampokan toko emas milik Wan Ali. Untuk melancarkan aksinya, Gaspar mengajak Agnes, Kik, Njet, Pongo, dan Pingi (bukan nama sebenarnya). Penggunaan nama samaran ini untuk melindung

Baalveer: antara dongeng dan modernitas

source.net Dengan memanggil namanya, dia akan datang untuk menyelamatkan. Dengan melihatnya di tv, dia muncul bak superhero abad 20 yang begitu terkenal. Julukannya ‘pahlawan penyelamat anak-anak’. Serial India sedang membanjiri tanah air. Dimulai dari film, sinetron, hingga artis dari negeri Bollywood itu dicintai tayang di Indonesia. Hampir setiap tv terdapat tayangan yang berasal dari India. Salah satu serial drama yang saat ini hadir setiap hari di tv (sebut saja antv) menjadi salah satu tayangan favorit anak-anak. Baalveer, seorang anak yang terlahir dari peri bernama Baal Peri menjadi sosok yang paling dicintai anak-anak. Dengan baju berwarna oren, berselendang merah, serta tongkat sakti sebagai senjatanya, membuat dia dijuluki pahlawan bagi anak-anak. Di sela-sela pekerjaannya menyelamatkan anak-anak, dia pun sering muncul di tv. Mengapa Baalveer di tv? Beberapa episode Baalveer, ia sering tampil untuk mengklarifikasi segala hal yang berkaitan dengan anak-anak. Ter